Sabtu, 25 Oktober 2014

prinsip kedokteran

Prinsip pendekatan pelayanan Dokter Keluarga yaitu:
1. Memberikan layanan komprehensif dengan pendekatan holistik.
2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang kontinyu mulai dari konsepsi sampai mati.
3. Mengutamakan pencegahan (empat tingkat pencegahan). 
4. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang koordinatif dan kolaboratif.
5. Memberikan pelayanan kesehatan individual sebagai bagian integral dari keluarganya.
6. Mempertimbangkan keluarga, komunitas, masyarakat dan lingkungan tempat pasien berada.
7. Sadar etika, moral dan hukum. 
8. Memberikan pelayanan kesehatan yang sadar biaya dan sadar mutu.
9. Menyelengarakan pelayanan kesehatan yang dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan. 

Adapun penjabaran prinsip-prinsip diatas adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan kesehatan yang komprehensif dengan pendekatan holistik. 
a. Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
b. Memandang pasien sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit.
2. Pelayanan kesehatan yang kontinyu.
a. Mempunyai rekam medis yang diisi dengan cermat.
b. Dianjurkan untuk berpraktek di tempat yang sama, dokter dan kliniknya sebaiknya jangan berpindah-pindah.
c. Menjalin kerjasama dengan profesional dan institusi pelayanan kesehatan lainnya untuk kepentingan pasien agar proses konsultasi dan rujukan berjalan lancar.
3. Pelayanan kesehatan yang mengutamakan pencegahan.
a. Melayani KIA, KB, vaksinasi.
b. Mendiagnosis dan mengobati penyakit sedini mungkin.
c. Mengkonsultasikan atau merujuk pasien pada waktunya.
d. Mencegah kecacatan.
4. Pelayanan kesehatan yang koordinatif dan kolaboratif.
a. Kerjasama profesional dengan semua pengandil agar dicapai pelayanan kesehatan yang bermutu dan mencapai kesembuhan optimal.
b. Memanfaatkan potensi pasien dan keluarganya seoptimal mungkin untuk penyembuhan. 
Sebagai contoh: melatih anggota keluarga untuk mengukur dan memantau suhu tubuh pasien atau bahkan tekanan darah dan kadar gula darahnya. Hasil itu selanjutnya dilaporkan secara berkala kepada dokter yang bersangkutan.
5. Penanganan individual bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya.
a. Titik awal (entry point) pelayanan Dokter Keluarga adalah individu seorang pasien.
b. Unit terkecil yang dilayaninya adalah individu pasien itu sendiri sebagai bagian integral dari keluarganya.
c. Seluruh anggota keluarga dapat menjadi pasien seorang Dokter Keluarga akan tetapi tetap dimungkinkan sebuah keluarga mempunyai lebih dari satu dokter keluarga.
6. Pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya.
a. Selalu mempertimbangkan pengaruh keluarga, komunitas, masyarakat dan lingkungannya yang dapat mempengaruhi penyembuhan penyakitnya.
b. Memanfaatkan keluarga, komunitas, masyarakat dan lingkungannya untuk membantu penyembuhan penyakitnya.
7. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hukum. 
a. Mempertimbangkan etika dalam setiap tindak medis yang dilakukan pada pasien.
b. Meminta ijin pada pasien untuk memberitakan penyakitnya kepada keluarganya atau pihak lain.
c. Menyadari bahwa setiap kelalaian dalam tindakannya dapat menjadi masalah hukum.

8. Pelayanan kesehatan yang sadar biaya dan sadar mutu.
a. Mempertimbangkan segi “cost-effectiveness” dalam merancang tindakan medis untuk pasiennya.
b. Mampu mengelola dan mengembangkan secara efisien dengan neraca positif sebuah klinik Dokter Keluarga dengan tetap menjaga mutu pelayanan kesehatan.
c. Mampu bernegosiasi dengan pelayanan kesehatan yang lain (Rumah Sakit, Apotik, Optik dan lain-lain) secara berimbang sehingga tercapai kerjasama yang menguntungkan semua pihak khususnya pasien.
d. Mampu bernegosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan secara serasi dan selaras sehingga tercapai kerjasama yang menguntungkan semua pihak khususnya pasien.
9. Pelayanan kesehatan yang dapat diaudit dan dapat dipertangungjawabkan.
a. Rekam medís yang lengkap dan akurat yang dapat dibaca orang lain yang berkepentingan.
b. Menyediakan SOP untuk setiap layanan medis.
c. Belajar sepanjang hanyat dan memanfaatkan EBM (Evidence Based Medicine) serta menggunakannya sebagai alat untuk merancang tindakan medis dan bukan sebagai pembuat keputusan.
d. Menyadari keterbatasan kemampuan dan kewenangan. 
e. Menyelenggarakan pertemuan ilmiah rutin membahas berbagai kasus sambil mengaudit penatalaksanaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar